Di era pasca-Reformasi, jurnalisme Indonesia tengah menghadapi titik nadir yang mungkin belum pernah dialami sebelumnya. Media yang semestinya menjadi pilar keempat demokrasi justru terjebak dalam persimpangan rumit antara tuntutan komersial, tekanan politik, dan disrupsi digital. Kepercayaan publik terhadap media menurun drastis, seiring dengan delegitimasi sistematis terhadap institusi pers, yang diperparah oleh disinformasi dari elite politik dan media sosial yang menyebarkan narasi alternatif.
Sebagaimana dikemukakan oleh Hirst (2022) dalam Journalism Ethics at the Crossroads, paradigma lama jurnalisme kini tak lagi relevan. Media dinilai gagal menjalankan fungsi etis dan informatif secara proporsional di tengah krisis global seperti pandemi, konflik sosial, dan maraknya hoaks politik. Fenomena ini nyata terasa di Indonesia, di mana media yang mencoba kritis terhadap kekuasaan justru dituduh berpihak atau bahkan dianggap musuh negara.
Di sisi lain, media yang terlalu dekat dengan lingkar kekuasaan pun kehilangan legitimasi di mata publik. Di tengah tekanan ekonomi yang menggerus kemandirian redaksi, media dipaksa memilih: menjaga idealisme atau bertahan secara bisnis. Banyak yang memilih bertahan, meski harus mengorbankan integritas.
Kemerosotan ini kian diperparah oleh dominasi platform digital global. Media arus utama tak lagi menjadi sumber utama informasi, kalah cepat dan personal dibanding TikTok, WhatsApp, atau X (dulu Twitter). Ketika media menyuruh publik “jangan termakan hoaks,” mereka lupa memberikan alternatif narasi yang kredibel dan relevan.
Kondisi genting ini tercermin dalam gelombang pemutusan hubungan kerja besar-besaran di industri media. Antara 2023 hingga pertengahan 2025, lebih dari 1.200 jurnalis dan pekerja media kehilangan pekerjaan. Penyebab utamanya: menurunnya belanja iklan, yang kini dikuasai oleh Google, Meta, dan TikTok. Beberapa nama besar seperti Kompas TV, CNN Indonesia TV, TV One, hingga SEA Today, merumahkan ratusan karyawannya. VIVA Group bahkan mencatat kerugian hampir Rp 1 triliun dan utang yang menumpuk.
Namun tidak semua berita buruk. Tempo Inti Media Tbk justru mencatatkan pertumbuhan sehat—baik dari sisi pendapatan maupun laba. Kuncinya: fokus pada kualitas konten, transformasi digital yang konsisten, dan keterbukaan terhadap publik. Tempo menunjukkan bahwa kepercayaan pembaca jauh lebih berharga dibanding sekadar modal atau klik.
Akar persoalan sesungguhnya bukan sekadar PHK atau kerugian finansial. Yang sedang terjadi adalah pergeseran mendasar dalam struktur kerja media. Banyak jurnalis kini menjadi pekerja lepas tanpa kontrak, jaminan sosial, atau kepastian penghasilan. Mereka masuk dalam kategori precariat—kelas pekerja rentan yang disebut Guy Standing (2011) sebagai kelompok tanpa masa depan yang jelas. Survei menunjukkan sebagian besar jurnalis menerima upah jauh di bawah standar layak, bahkan ada yang digaji di bawah Rp 2,5 juta per bulan.
Fenomena ini menggambarkan transisi nyata dari jurnalis profesional menjadi precariat, istilah yang dicetuskan Guy Standing (2011) untuk menjelaskan kelas pekerja yang tidak memiliki stabilitas ekonomi maupun pengakuan sosial. Tidak adanya kepastian kerja telah mematikan ruang bagi jurnalisme investigatif (liputan investigasi) dan peliputan mendalam (liputan indepth), karena jurnalis harus memilih konten ringan dan cepat tayang demi bertahan.
Persoalan utamanya terletak pada struktur ekonomi media itu sendiri. Teori ekonomi media yang dikembangkan oleh Robert McChesney (2008) menekankan adanya dualitas, di mana media adalah institusi bisnis sekaligus lembaga publik. Namun dalam praktiknya, orientasi bisnis lebih mendominasi. Di Indonesia, sekitar 60–70 persen pendapatan iklan media berasal dari iklan pemerintah atau BUMN, menurut Media Indonesia.
Pada saat yang sama, 75 persen belanja iklan digital nasional telah dikuasai oleh platform global seperti Meta dan Google. Ini membuat media lokal kehilangan sumber pendapatan utama dan semakin bergantung pada iklan politik dan negara.
Ketergantungan ini berimplikasi langsung terhadap independensi redaksional. Survei AJI dalam liputan Pemilu 2024 menunjukkan bahwa 22,9 persen jurnalis pernah menampilkan iklan politik dalam bentuk berita. Hanya 54,5 persen yang menyadari bahwa praktik tersebut melanggar kode etik jurnalistik.
Dalam konteks ini, posisi jurnalis menjadi sangat rentan terhadap tekanan narasi politik, bukan karena tidak beretika, tetapi karena sistem kerja memaksa mereka menjual kredibilitas demi kelangsungan hidup. Tekanan terhadap ekonomi media tidak hanya datang dari pasar, tetapi juga dari kebijakan negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang membatasi iklan tembakau, misalnya, telah menghapus salah satu sumber pemasukan penting bagi media cetak dan televisi. Tanpa skema kompensasi fiskal atau strategi diversifikasi pendapatan, banyak perusahaan media terpaksa memangkas staf, menyederhanakan redaksi, dan beralih ke model konten cepat dan viral. Sementara itu, adopsi kecerdasan buatan di ruang redaksi mulai menggantikan peran penulis berita pendek, juru bahasa, dan editor junior.
Beberapa platform menggunakan AI untuk membuat rangkuman berita otomatis, tanpa pelibatan jurnalis dan diskusi di dapur redaksi. Praktik ini mungkin efisien, tetapi dalam jangka panjang memperkuat de-skilling dan deprofessionalization dalam jurnalisme.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. BuzzFeed menutup divisi berita investigasi pada 2023. The Washington Post, bahkan di bawah kepemilikan Jeff Bezos, tetap melakukan PHK. BBC mengurangi liputan lokal dan menutup kantor regionalnya. Namun, perbedaannya adalah di negara seperti Jerman atau Norwegia, keberadaan dana publik yang independen membuat media masih bisa mempertahankan fungsi publik tanpa harus tunduk pada pasar murni. Ketika model berbasis iklan terus gagal menopang operasional media, sejumlah media independen di Indonesia memilih jalur alternatif, fundraising journalism. Ini adalah pendekatan di mana redaksi secara terbuka meminta dukungan publik untuk membiayai peliputan dan menjagai dependensi.
Misalnya, Project Multatuli didanai penuh oleh donasi publik dan lembaga filantropi tanpa iklan. Mereka mengungkapkan sumber dan laporan keuangan tahunan secara transparan. Sementara beberapa media telah mengembangkan sistem membership sukarela, yang memungkinkan pembaca mendukung jurnalisme mendalam melalui donasi bulanan. Model ini bukan tanpa tantangan. Ketergantungan pada donatur, potensi konflik kepentingan, dan keterbatasan jangkauan menjadi problem nyata.
Namun, fundraising membuka jalur independensi baru, menempatkan publik sebagai stakeholder, bukan sekadar audience. Dan secara teoretik, ini lebih dekat dengan konsep jurnalisme publik yang memperkuat demokrasi deliberatif. Solusi struktural sangat mendesak. Pemerintah perlu membentuk dana keberagaman media (media pluralism fund) yang mendukung redaksi independen, terutama di daerah. Pajak digital atas platform global seperti Meta dan Google harus diterapkan, seperti yang berlaku di Kanada dan Australia, dengan sebagian dialokasikan untuk membiayai media nasional. Regulasi ketenagakerjaan juga harus diperluas agar jurnalis freelance memperoleh status hukum dan perlindungan sosial yang setara dengan karyawan tetap. Lebih jauh, media harus membangun ulang relasi dengan publik. Bukan sekadar menjual klik atau trafik, tetapi menjalin kepercayaan melalui transparansi, kredibilitas, dan pelibatan komunitas.
Model ekonomi yang berorientasi pada relasi sosial ini bisa menjadi jalan keluar dari jebakan oligarki iklan dan tekanan politik. Jika krisis pendanaan media tidak diatasi dan etika tidak ditata ulang dalam konteks struktur ekonomi, maka kesejahteraan jurnalis hanya akan menjadi nostalgia masa lalu. Sebaliknya, jika media mampu membangun ulang legitimasi publik melalui model yang adil dan akuntabel, maka jurnalis bukan hanya bisa hidup layak, mereka juga bisa kembali menjadi pengawal demokrasi dan agent of change.
artikel ini disadur dari Kompas.com dengan judul “Dilema Jurnalisme Kini: Uang, Etika, dan Hilangnya Independensi Media”,
Klik untuk baca: