Perusahaan Daerah (Perusda) sering disebut sebagai “mesin uang daerah.” Tapi anehnya, banyak yang lebih mirip “mesin pembakar uang.” Laporan keuangan selalu defisit, subsidi dari APBD tak cukup, dan akhirnya masyarakat bertanya-tanya: kok bisa rugi?
Biar nggak cuma ngomel di warung kopi, yuk kita bahas secara teknis: bagaimana cara mengetahui apakah Perusda benar-benar rugi atau cuma ‘pura-pura miskin’?
1. Laporan Laba Rugi: Ada Profit atau Defisit?
Pertama, cek laporan laba rugi. Pendapatan dikurangi biaya operasional, apakah menghasilkan laba (profit) atau justru rugi (defisit)?
Kalau setiap tahun angkanya merah, berarti ada masalah dalam efisiensi atau strategi bisnisnya. Tapi ada juga kasus di mana perusahaan melaporkan profit, tapi kas kosong—artinya ada kemungkinan praktik window dressing (mempercantik laporan keuangan).
Solusinya? Cek arus kas (cash flow statement)! Kalau pemasukan lancar tapi kas selalu kosong, bisa jadi ada kebocoran atau pembayaran utang yang tidak sehat.
2. Neraca Keuangan: Aset vs Liabilitas
Di laporan neraca (balance sheet), lihat perbandingan antara aktiva (aset) dan pasiva (liabilitas/utang).
Kalau aktiva lebih besar dari pasiva, berarti secara teori masih sehat.
Kalau pasiva lebih besar, berarti perusahaan hidup dari utang.
Perhatikan juga komposisi aset. Apakah aset produktif (misalnya mesin, tanah yang dikelola) atau hanya aset diam (tanah nganggur, gedung yang tak digunakan)? Kalau aset banyak tapi tidak menghasilkan pendapatan, ya jelas rugi.
3. Bandingkan dengan Perusahaan Sejenis
Perusda bergerak di industri tertentu? Bandingkan dengan perusahaan lain di sektor yang sama.
Jika perusahaan swasta sejenis bisa profit, tapi Perusda malah defisit, berarti ada masalah di manajemen atau efisiensi operasional.
Jika semua perusahaan di sektor yang sama memang sedang turun, mungkin itu faktor eksternal, seperti resesi atau perubahan regulasi.
Bandingkan juga dengan Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE). Kalau rasio ini rendah, berarti aset dan modal tidak dikelola dengan baik.
4. Biaya Operasional: Efisien atau Foya-Foya?
Cek rasio biaya operasional terhadap pendapatan. Jika biaya operasional sudah di atas 70% dari total pendapatan, lampu merah!
Perusda sering bermasalah dengan:
Overstaffing: Karyawan terlalu banyak, gaji besar, tapi produktivitas rendah.
Pengeluaran tak wajar: Sewa alat lebih mahal daripada harga beli, perjalanan dinas yang sering, rapat di hotel mewah tanpa hasil konkret.
Kalau biaya terlalu tinggi dibanding pemasukan, ya jelas Perusda bakal sulit untung.
5. Audit: Siapa yang Berwenang dan Bagaimana Mekanismenya?
Agar tidak ada manipulasi laporan keuangan, Perusda harus diaudit oleh pihak independen. Beberapa lembaga yang berwenang:
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): Mengaudit keuangan Perusda yang mendapat dana dari APBD.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP): Fokus pada pengawasan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana.
Kantor Akuntan Publik (KAP): Untuk audit eksternal yang lebih independen.
Inspektorat Daerah: Melakukan pengawasan internal di lingkungan pemerintah daerah.
Audit yang kredibel akan melihat:
✔ Keabsahan transaksi keuangan
✔ Kepatuhan terhadap regulasi
✔ Efisiensi penggunaan dana
✔ Potensi fraud atau korupsi
Jika hasil audit menunjukkan banyak kejanggalan, ada kemungkinan terjadi moral hazard, di mana pengelola Perusda tidak punya insentif untuk bekerja secara efisien karena mereka tetap mendapat gaji dan tunjangan dari APBD.
Kesimpulan: Beneran Rugi atau Manajemennya yang Bermasalah?
Sekarang kita paham: Perusda rugi bukan karena takdir, tapi karena manajemen yang buruk, strategi bisnis yang ngawur, atau ada ‘tangan-tangan ajaib’ yang kebanyakan mengambil bagian.
Jadi, kalau ada yang bilang, “Maklum, Perusda memang sulit cari untung,” coba tanya balik: “Sulit cari untung, atau sulit berhenti bocor?” ***(Oleh CB)