Oleh: C.B
Di ruang sidang, ketika palu diketukkan dan vonis 4 tahun 6 bulan dijatuhkan kepada Tom Lembong, riuh tepuk tangan terdengar seperti stadion sepak bola. Namun sorak-sorai itu bukan untuk kebenaran yang menang, melainkan untuk kebingungan hukum yang disulap menjadi drama ideologi. Hakim, dengan suara yang bergetar antara keyakinan pribadi dan norma hukum, membacakan putusan yang lebih menyerupai manifesto politik ketimbang analisis yuridis.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin sebuah vonis pidana didasarkan pada ideologi ekonomi yang tidak pernah diatur sebagai norma hukum? Di sinilah letak argumen paling pahit : putusan hakim menjadikan kapitalisme sebagai musuh negara, bukan sebagai teori ekonomi yang netral.
1. Putusan Hakim: Ketika Ideologi Menjadi Fakta Hukum
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa kebijakan impor gula yang diambil Tom Lembong bertentangan dengan semangat ekonomi Pancasila. Tidak ada pasal hukum yang dilanggar, tidak ada bukti keuntungan pribadi, dan bahkan tidak ada korupsi dalam bentuk konvensional (suap, mark-up pribadi, atau gratifikasi). Tetapi hakim menyimpulkan:
“Kebijakan ini mengandung aroma kapitalisme yang mengancam ekonomi kerakyatan, maka ia bersalah.”
Pernyataan ini mengguncang publik dan pakar hukum. Mahfud MD menegaskan di media:
“Kapitalisme bukan norma hukum. Tidak ada dalam undang-undang kita yang menyatakan seseorang bisa dipidana karena mengambil kebijakan kapitalis.”
—Suara.com, 25 Juli 2025
Logika ini setara dengan menghukum seseorang karena memiliki preferensi musik yang tidak sesuai dengan selera mayoritas. Bukan karena ia merugikan negara secara nyata, tetapi karena ia tidak menyanyikan lagu ideologi yang sama dengan penguasa tafsir hukum saat itu.
2. Kapitalisme: Konsep Ekonomi atau Delik Pidana?
Kapitalisme adalah sistem di mana alat produksi dimiliki secara pribadi, pasar bebas menentukan harga, dan intervensi negara dibatasi. Ini bukan entitas hukum yang dapat menandatangani kontrak atau mencuri uang negara. Namun, dalam vonis ini, kapitalisme dipersonifikasikan, seolah-olah ia adalah konspirator gelap yang membisikkan kebijakan jahat kepada seorang menteri.
Pertanyaannya sederhana: bisakah sebuah ideologi ekonomi dijadikan subjek putusan pidana?
Menurut teori hukum pidana, subjek hukum hanya bisa:
Manusia (natuurlijke persoon) yang punya kesadaran, niat, dan kehendak bebas.
Badan hukum (rechtspersoon) seperti perusahaan, yang punya organ pengambil keputusan.
Kapitalisme tidak termasuk keduanya. Ia adalah sistem pemikiran, bukan pelaku tindakan. Menghukum Tom Lembong karena kapitalisme berarti menghukum pikiran, bukan perbuatan. Ini melanggar prinsip dasar nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan tanpa aturan hukum yang jelas).
3. Ekonomi Pancasila Sebagai Pasal Imajiner
Yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana hakim menjadikan “Ekonomi Pancasila” sebagai semacam pasal imajiner yang wajib dipatuhi semua pejabat publik. Ekonomi Pancasila sendiri adalah konsep normatif yang menekankan:
Koperasi dan gotong-royong sebagai pilar ekonomi.
Intervensi negara untuk kesejahteraan rakyat.
Menghindari monopoli dan dominasi kapital swasta.
Namun, tidak ada UU yang menjadikan pelanggaran “semangat ekonomi Pancasila” sebagai tindak pidana. Ketika hakim menggunakan prinsip ini sebagai dasar vonis, ia menciptakan hukum baru di ruang sidang, tanpa proses legislasi. Ini bukan lagi hukum berdasarkan peraturan tertulis, tetapi hukum berdasarkan tafsir pribadi ideologi.
Jika standar seperti ini dibiarkan, maka besok lusa setiap kebijakan yang tidak sesuai dengan tafsir ideologi penguasa bisa dipidana, meski tidak ada pasal yang jelas.
4. Diskresi vs Kejahatan: Pengaburan Konsep
Diskresi adalah kewenangan sah menteri untuk bertindak cepat demi kepentingan umum. Dalam kasus impor gula, kebijakan itu diambil untuk:
Menambah pasokan gula saat harga naik.
Menstabilkan harga di tingkat konsumen.
Mencegah krisis pangan yang berpotensi lebih besar.
Tidak ada bukti suap, tidak ada perintah memperkaya pihak tertentu secara pribadi. Namun hakim menyimpulkan bahwa diskresi ini salah karena “memihak pasar bebas dan melawan prinsip kedaulatan pangan ala Pancasila”.
Ironisnya, dalam hukum administrasi, kesalahan diskresi bukan pidana, tetapi bisa menjadi sengketa administrasi di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Kriminalisasi diskresi ini bukan hanya preseden buruk, tetapi juga membunuh inisiatif pejabat publik yang ingin mengambil keputusan cepat demi rakyat. Setelah kasus ini, setiap pejabat akan memilih diam dan menunggu petunjuk politik, meski rakyat menderita karena keterlambatan kebijakan.
5. Retorika Moralitas Semu
Dalam putusan ini, hakim juga menggunakan retorika moral: bahwa kebijakan Tom Lembong “lebih menguntungkan pemodal swasta ketimbang rakyat”. Pernyataan ini problematis karena:
Tidak ada bukti empiris bahwa kebijakan tersebut memperkaya pemodal tertentu dengan motif jahat.
Penurunan harga gula justru menguntungkan konsumen, bagian terbesar dari rakyat.
Kerugian negara Rp 578 miliar yang disebutkan berasal dari audit BPKP yang metodologinya dipertanyakan dan bahkan bertentangan dengan audit resmi BPK (Kompas.com, 13 Juni 2025).
Retorika ini membuat putusan tampak seperti perjuangan moral melawan kapitalisme, padahal seharusnya pengadilan mengadili fakta hukum, bukan ideologi atau persepsi moralitas subjektif.
6. Bahaya Preseden: Kriminalisasi Kebijakan Publik
Jika vonis ini dianggap sah dan tidak dikoreksi di tingkat banding atau kasasi, maka Indonesia memasuki era baru:
Setiap kebijakan publik yang tidak selaras dengan tafsir ideologi penguasa berpotensi dipidana.
Setiap pejabat akan enggan menggunakan diskresi karena takut dipenjara.
Investasi publik dan kecepatan birokrasi akan lumpuh oleh ketakutan kriminalisasi kebijakan.
Ini adalah bentuk overcriminalization, di mana hukum pidana digunakan untuk mengadili pilihan kebijakan, bukan perbuatan yang memenuhi unsur korupsi sebagaimana dimaksud UU Tipikor.
7. Satire Penutup: Vonis Pikiran
Vonis ini menandai bab baru dalam sejarah hukum kita: pengadilan ideologi. Jika dulu pengadilan menghukum perbuatan jahat yang merugikan negara, kini ia menghukum pikiran yang tidak selaras dengan ideologi tertentu.
Dengan standar ini, kelak pengadilan bisa:
Menghukum pejabat yang terlalu pro-sosialis karena “bertentangan dengan ekonomi pasar”.
Mengadili gubernur yang menerapkan ekonomi syariah karena “tidak sesuai dengan prinsip sekularisme”.
Bahkan menuntut warganya sendiri jika memiliki pemikiran ekonomi yang tidak sesuai tafsir rezim berkuasa.
Hukum berubah menjadi penjaga keseragaman pikiran, bukan pelindung kebebasan dan keadilan.
Dengan demikian, vonis kapitalis terhadap Tom Lembong adalah preseden berbahaya. Ia mencampuradukkan hukum, ideologi, dan moralitas subjektif, menciptakan dunia di mana pikiran ekonomi bisa menjadi tindak pidana. Ini bukan hanya tragedi hukum, tetapi juga satire sejarah yang kelak mungkin kita baca dalam buku-buku sebagai contoh absurd negara hukum yang kehilangan akalnya.