TARAKAN – How Democracies Die karya Stevan Levitsky dan Daniel Ziblat terbitan 2019 silam menyebutkan bahwa demokrasi bisa mati sebab kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian demokrasi bisa saja terjadi tanpa kita sadari. Contohnya ketika pemimpin bergaya otoriter terpilih dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas atau mendominasi pencalonan dalam pemilihan.
Sadar atau tidak, sesungguhnya secara perlahan-lahan kita sedang menuju kemunduran demokrasi. Dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pilkada, salah satu hal yang berkemungkinan membawa ajal bagi demokrasi kita adalah fenomena kotak kosong.
Istilah “kotak kosong” menjadi konotasi baru dalam dimensi perpolitikan di Kota Tarakan. Istilah tersebut diperuntukkan bagi pilkada yang hanya memiliki satu pasangan calon, kemudian kotak yang lain tak berisi nama calon alias kosong. Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong menjadi suatu hal yang baru di Tarakan. Cukup mengejutkan masyarakat hingga memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi.
Menurut catatan sejarah, 2015 jadi titik berangkat kemunculan kotak kosong sebagai akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana kala itu, MK memutuskan bahwa pilkada tetap dilaksanakan meskipun hanya ada satu pasangan calon (paslon) dan memberikan alternatif bagi masyarakat selaku pemilih dengan menambahkan kotak kosong sebagai pilihan. Sejak saat itu kotak kosong menjadi fenomena yang terus berulang mulai dari pilkada tahun 2017, 2018, hingga 2020. Adapun dalam pilkada 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU)mencatat, terdapat 41 wilayah yang menyelenggarakan pilkada dengan satu paslon alias melawan kotak kosong. Kondisi ini menunjukkan peningkatan calon tunggal sebesar 2x lipat apabila dibandingkan dengan pilkada 2020 yang hanya berjumlah 25 wilayah.
Fenomena kotak kosong meningkat sebab petahana menyalahgunakan kekuasaan untuk memobilisasi dukungan. Merujuk data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bahwa 80% dari 53 calon tunggal sejak 2015 sampai 2020 adalah petahana. Sekalipun petahana itu tidak bisa mencalonkan lagi, maka ia akan mencalonkan keluarga dan kerabat. Praktik lancung ini kerap terjadi di daerah termasuk dalam kontestasi pilpres dan dianggap normal oleh lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi.
Kotak kosong dapat dipahami melalui dua sudut pandang. Pertama, harus diakui bahwa kotak kosong berdampak buruk terhadap masa depan demokrasi kita. Kompetisi dan transparansi yang minim dalam pelaksanaan pilkada menghilangkan kesempatan masyarakat untuk menentukan pemimpin daerah yang ideal. Kedua, kotak kosong mencerminkan dinamika politik yang kompleks, dimana partai-partai besar bersatu atas nama koalisi sehingga menyisakan sedikit ruang bagi calon lain untuk dapat maju. Mereka menguasai politik tingkat lokal dan kini tengah mengancam demokrasi dengan manipulasinya.
Sesungguhnya yang paling dirugikan dari fenomena kotak kosong adalah masyarakat. Sedangkan politikus hanya memperalatnya guna mempertahankan status quo. Mereka memandang jabatan sebagai sumber kekuasaan dan peluang untuk memupuk kekayaan. Perlu diingat kembali bahwa pilkada secara langsung merupakan salah satu amanat reformasi yang diharapkan menjadi pintu gerbang kemunculan pemimpin berkualitas, bukan wahana bermain
kekuasaan yang kental akan pragmatisme dan abai terhadap etika dan moral. Kembali saya tekankan bahwa masyarakat bukan objek, melainkan subjek. Demokrasi adalah proses bagi masyarakat dalam mengambil keputusan. Bukan siapa yang terpilih, dilantik, dan menjabat sebagai kepala daerah yang dijadikan hasil dan tolak ukur kualitas demokrasi, melainkan sejauh mana proses demokrasi kita mampu menghadirkan makna bagi masyarakat? Sehingga, pemimpin yang terpilih nantinya dapat memenuhi, melindungi, dan menghormati hak-hak masyarakat mushtadhafin. Kotak-kotak kosong sangat mungkin bisa menang.
STOP NORMALISASI POLITIK UANG (MONEY POLITIC)
Masih segar dalam ingatan kita bahwa pada tanggal 20 September 2024 secara mengejutkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pilkada yang memperbolehkan politik uang. Sebagaimana yan tertera dalam Pasal 66 ayat (5) bahwa pasangan calon dan tim kampanye diperbolehkan memberikan hadiah dalam bentuk barang dengan nilai maksimal Rp.1.000.000. Secara praktik, tentu hal ini bertentangan dengan etika demokrasi.
Apabila kita merujuk pada agenda ditahun yang sama, yakni Pemilu 2024, berdasarkan PKPU Nomor 15 Tahun 2023 itu melarang secara eksplisit pelaksana, peserta, dan tim kampanye untuk “memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”. Atas persoalan regulasi ini, pasti kita boleh beda pendapat sebab perbedaan adalah suatu keniscayaan termasuk dalam pemikiran. Bahkan dalam konfrensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saja, persoalan ini diperdebatkan hingga membelah forum menjadi 2 (dua) kubu.
Kubu yang satu mendukung agar PKPU tersebut dilegalisasikan dengan alasan bahwa politik uang itu sulit dicegah, sedangkan pihak yang lain itu menolak dengan alasan koruptif.
Penulis sendiri memilih untuk menolak dengan mempertimbangkan nilai moralitas agar pilkada tahun ini tidak menjadi pilkada transaksional. Kita tidak mau dalam pesta demokrasi, suara pemilih justru bisa dibeli dengan barang. Hal tersebut akan berujung hubungan timbal balik antara individu dengan status sosial ekonomi yang tidak seimbang (klientelisme).
Kandidat yang nantinya terpilih akan dinormalisasikan secara regulasi bahwa “lu punya duit, lu punya kuasa” atau “siapa yang punya banyak modal, itulah yang menang”. Artinya sudah bukan pesta demokrasi lagi, tetapi jadi pesta oligarki. Normalisasi inilah yang sebenarnya berbahaya. Sekalipun fakta dilapangan masih banyak masyarakat kita yang orientasinya itu transaksional-materialis.
Namun, berangkat dari pandangan rekayasa sosial yang meng-halal-kan politik uang, pasti akan memperburuk kualitas demokrasi kita. Terakhir, penulis ingin menyampaikan pesan kepada penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu, untuk tidak takut apalagi masuk angin dalam menindak pelanggaran – pelanggaran dalam proses Pilkada 2024 terutama persoalan politik uang (money politic).***
Penulis,
Fadhil Qobus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan.