Oleh : Andi Yakub, S.Kep, Ns – Anggota DPRD Kabupaten Nunukan
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah bagian dari komitmen negara menghadirkan keadilan sosial dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Di Kabupaten Nunukan, program ini tentu sangat diharapkan—terutama oleh masyarakat di wilayah perbatasan dan pelosok yang rentan terhadap gizi buruk dan keterbatasan akses pangan.
Namun, implementasinya belum bebas dari masalah. Peristiwa keracunan massal siswa akibat makanan MBG yang disediakan rekanan tak profesional menjadi catatan kelam. Bukan hanya soal kegagalan sistem, tapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan anak-anak.
Situasi ini memunculkan dua pandangan yang kini layak dipertimbangkan:
1. Memberikan Dana Langsung ke Orang Tua Siswa
Skema ini dinilai lebih aman dan memberdayakan. Orang tua bisa menyiapkan makanan sesuai kebutuhan dan kondisi anaknya. Model ini juga fleksibel, terutama bagi sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur atau berada di daerah sulit akses.
Namun, tentu ada risikonya. Pengawasan harus diperkuat agar uang benar-benar digunakan untuk makanan anak, bukan keperluan lain. Selain itu, tidak semua orang tua memahami prinsip gizi seimbang, sehingga edukasi dan pendampingan menjadi kunci.
2. Memperbaiki Sistem Rekanan: Seleksi yang Ketat dan Profesional
Opsi kedua adalah tetap mempertahankan sistem penyedia makanan dari pihak ketiga, namun dengan perbaikan besar-besaran dalam proses seleksi dan pengawasan rekanan.
Pemerintah daerah harus menjadikan kualitas, sertifikasi kebersihan, pengalaman, dan rekam jejak sebagai syarat mutlak dalam pengadaan jasa katering MBG. Selain itu, sistem audit makanan, sampling acak, dan pelibatan masyarakat perlu diperkuat agar kejadian keracunan tidak terulang.
Namun pendekatan ini juga punya tantangan: korupsi dalam proses tender, lemahnya pengawasan di lapangan, dan kemungkinan adanya monopoli usaha jika tidak transparan.
Lalu, Mana yang Lebih Baik?
Menurut saya, jawabannya tergantung pada kondisi wilayah dan kesiapan infrastruktur.
Di daerah perkotaan atau sekolah yang memiliki fasilitas cukup, pendekatan rekanan profesional masih bisa dijalankan, asal benar-benar diperketat dan transparan.
Tapi di wilayah terpencil, seperti Krayan atau pulau-pulau di sekitar Sebatik, memberikan dana langsung ke orang tua bisa menjadi opsi yang lebih masuk akal dan tepat sasaran.
Penutup: Fleksibilitas adalah Kunci
Sebagai wakil rakyat, saya mendorong agar Pemerintah Daerah bersama DPRD membuka ruang diskusi lebih luas untuk mengevaluasi pelaksanaan MBG. Jangan sampai niat baik ini justru menjadi celah bahaya bagi anak-anak kita.
Sudah saatnya kita tidak lagi memaksakan satu sistem untuk semua daerah. Di wilayah perbatasan seperti Nunukan, fleksibilitas, pengawasan ketat, dan keberpihakan pada keselamatan anak harus menjadi prioritas utama.***